HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA


HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Pernikahan beda agama kini menjadi perbincangan, tentu karena kehebohan yang dibuat.    Beberapa waktu yang lalu telah viral di medsos, seorang pengguna facebook bernama Ahmad Nurcholish membagikan foto-foto pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan. Suami istri ini ternyata berbeda agama. Karena berbeda keyakinan, pernikahanpun dilakukan di dua tempat. Pertama kedua pasangan ini melangsungkan akad nikah secara Islam. Lalu, setelah itu kedua mempelai bergerak menuju gereja untuk mengikuti pemberkatan nikah. “Usai akad nikah secara Islam, mempelai ini saya antar ke gereja untuk mengikuti pemberkatan nikah. Ini pasangan yang ke 741 yang kami bantu pernikahannya karena berbeda agama. #fromjogjawithlove”. Tulis akun ahmad yang diunggah pada 8 Januari 2018. Ahmad menjelaskan kalau mempelai pria beragama Katolik, sementara mempelai wanita beragama Islam. (TribunNewsBogor.com,14/1/18)
                Kenapa pernikahan yang jelas-jelas dilarang oleh agama itu terjadi? Apalagi kemudian murtad! Bagaimana pandangan Aqidah dan hukum Islam tentang hal tersebut?
Hukum pernikahan beda agama sesungguhnya amat jelas. Perkara ini telah banyak dikupas dalam berbagai literatur Islam, mulai dari kitab fikih, tafsir hingga hadis. Kesimpulan para ulama juga tidak jauh berbeda. Hal itu disebabkan karena perkara tersebut didasarkan pada dalil-dalil yang qath’i, baik tsubût maupun dalâlah-nya.

Hukum Menikah dengan Kaum Musyrik
Kaum Muslim haram menikah dengan kaum musyrik. Hukum ini berlaku bagi Muslim maupun Muslimah. Laki-laki Muslim haram menikahi wanita musyrik dan wanita Muslimah haram dinikahi laki-laki musyrik. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya (QS al-Baqarah [2]: 221).
Ayat ini secara tegas menunjukkan keharaman menikah dengan kaum musyrik. Bahkan tidak ada perbedaan di kalangan para ahli ilmu tentang keharaman menikahi wanita kafir (selain Ahlul Kitab) dan memakan sembelihannya.
Menurut pendapat yang râjih, kata al-musyrikât tidak mencakup Ahlul Kitab. Di antara dalilnya adalah adanya beberapa ayat yang menyebut orang kafir itu terdiri dari dua golongan, yakni Ahlul Kitab dan musyrik. Allah swt berfirman:
“orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu”.  ( QS al-Baqarah [2]:105;
“ Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik”.(QS. Al-Maidah [5]: 82)
“ orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,(QS.Al-Bayyinah [96]: 1).
“ Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”. ,(QS.Al-Bayyinah [96]:6)
Dalam ayat-ayat itu, al-musyrikîn di-athaf-kan kepada Ahli Kitab. Adanya athaf itu menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya. Oleh karena itu, kata al-musyrikât dalam ayat ini tidak mencakup wanita Kitabiyah. Sebagaimana dinyatakan al-Shabuni, ini merupakan pendapat jumhur ulama. ( Ash-Shabuni, Rawâ’i al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, 1/267 (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Pendapat ini juga dinyatakan Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir lebih tepat. Lihat: ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, IV/365: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/582.)

Menikahi Ahlul Kitab
Terdapat perbedaan hukum antara pria Muslim dan wanita Muslimah dalam hal menikah dengan Ahlul Kitab. Seorang pria Muslim boleh menikahi wanita Muslimah dan Ahlul Kitab. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
Pada hari ini telah dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik. Makanan Ahlul Kitab juga halal bagi kalian dan makanan kalian halal bagi mereka. Demikian pula dengan perempuan yang menjaga kehormatannya dari orang-orang Mukmin dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari Ahlul Kitab sebelum kalian (QS al-Maidah [5]: 5).
Ayat ini dengan jelas memaparkan bahwa wanita-wanita ahli kitab yang senantiasa menjaga kehormatannya adalah halal untuk dikawini oleh pria muslim dan maharnya diberikan kepada mereka. Artinya, seorang pria muslim boleh mengawini ahli kitab sebagai pengejahwantahan ayat tersebut. Sebab, telah disebutkan bahwa, wanita-wanita ahli kitab yang senantiasa memelihara kesuciannya halal bagi pria muslim, sehingga menikahi wanita-wanita ahlul kitab adalah halal bagi mereka.
Namun sebaliknya, pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria ahlu kitab adalah haram secara syar’i dan mutlak tidak boleh terjadi. Jika terjadi, perkawinannya dianggap batal (tidah sah) dan tidak diakui akadnya. Keharaman wanita muslimah menikah dengan ahlul kitab di tetapkan dengan penjelasan Al Qur’an, sebagaimana Firman Allah SWT. :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. ”. (QS al-Mumtahanah [60]: 10).
Nash ini tidak mengandung pengertian lain, kecuali satu, yaitu; wanita muslimah tidak halal bagi pria kafir; pria kafir tidak halal bagi wanita muslimah; dan perkawinan pria kafir dengan wanita muslimah tidak menjadi pernikahan absah. Allah swt telah berfirman:
“Maka Jika kalian mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kalian mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka”. (QS al-Mumtahanah [60]: 10).
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa wanita muslimah tidak boleh sama sekali kawin dengan pria ahlul kitab, karena ahlul kitab termasuk kelompok orang-orang kafir

Bantahan terhadap Klaim Kaum Liberal (JIL)
Bertolak dari uraian di atas, hukum pernikahan beda agama sudah amat jelas. Namun, bukan kaum Liberal jika tidak suka menggugat hukum-hukum yang telah mapan. Dengan berbagai dalih, mereka menggulirkan ide tentang kebolehan pernikahan beda agama dalam segala bentuknya. Bahkan di antara mereka ada yang sudah melangkah jauh: memfasilitasi pernikahan beda agama. Berikut ini di antara beberapa dalih yang mereka kemukakan beserta bantahan terhadapnya.

a. Pluralisme.
Alasan pluralisme kerap dijadikan sebagai dalih kebolehan pernikahan lintas agama. Dalam pandangan ide ini, pernikahan beda agama tidak boleh dipermasalahkan karena hakikatnya semua agama adalah sama. Ulil Abshar Abdalla, misalnya, mengatakan bahwa larangan pernikahan lintas agama sudah tidak relevan lagi sebab al-Quran juga tidak pernah secara tegas melarang hal itu. Sebaliknya, al-Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan. (Ulil Abshar Abdalla. 2002. “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.” Kompas. Senin, 18 November.)
Pluralisme jelas tidak boleh dijadikan penentu halal-haramnya perbuatan. Bahkan ide pluralisme sendiri adalah batil sehingga tidak boleh diyakini kebenarannya. Pandangan bahwa al-Quran memandang manusia sederajat tanpa melihat perbedaan agama juga merupakan pandangan batil. Al-Quran telah menetapkan perbedaan kemuliaan di antara manusia dan standar yang digunakan adalah aspek keimanan dan amal shaleh (QS at-Tin [95]: 4-6) dan ketakwaannya (QS al-Hujurat [49]:14). Dalam QS al-Bayyinah [98]: 6-7 juga dinyatakan bahwa kaum kafir disebut sebagai syarr al-bariyyah (seburuk-buruknya makhluk); sebaliknya, orang yang beriman dan beramal salih disebut sebagai khayr al-bariyyah (sebaik-baik makhluk). Bahkan dalam QS al-Anfal [8]: 85 kaum kafir disebut sebagai syarr al-dawâb (seburuk-buruknya binatang). Itu semua menunjukkan batilnya anggapan yang menyamakan semua manusia, apa pun agamanya.

b. Nâsikh-Mansûkh.
Tokoh liberal lainnya, Abdul Moqsith Ghazaly, mengatakan bahwa di dalam al-Quran tidak dicantumkan hukum pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Yang dicantumkan adalah sebaliknya. Ini merupakan min bab al-iktifa’. Karena itu, berlaku hukum sebaliknya (mafhûm al-mukhâlafah). Selain itu, dalam teks-teks agama tidak ditemukan dalil yang melarang pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Karena tidak ada dalil al-Quran yang melarang maka itu berarti sudah menjadi dalil kebolehannya sehingga pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim dibolehkan.( http://islamlib.com/id/artikel/fatwa-nu-tentang-sesatnya-islam-liberal)
                Selain itu, menurutnya, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa ayat yang terakhir turun yakni QS al-Maidah [5]: 5 itu adalah ayat yang membolehkan nikah dengan Ahlul Kitab serta telah mengamandemen pelarangan menikah dengan orang kafir dan orang musyrik yang sebelumnya dilarang dalam QS al-Baqarah [5]: 221 dan QS al-Mumtahanah [60]: 10.6
Pandangan bahwa tidak ada dalil yang menyebutkan larangan wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim jelas dusta. Manthûq firman Allah SWT dalam QS al-Mumtahanah [60]: 10 dengan tegas menjelaskan tidak halalnya wanita Muslimah bagi orang-orang kafir. Teks dalam QS al-Baqarah juga menyatakan al-muhshanât min al-ladzîna ûtû al-kitâb adalah isim muannats yang tidak dapat mencakup laki-laki dari Ahlul Kitab sehingga mereka halal bagi perempuan Muslimah.
Pernyataan bahwa QS al-Maidah [5]: 5 merupakan ayat yang turun setelah QS al-Baqarah [2]: 221 dan QS al-Mumtahanah [60]: 10 sehingga hukum kedua ayat terakhir di-naskh dengan ayat terakhir juga tidak bisa diterima.
Metode penetapan nâsikh-mansûkh—bahwa suatu hukum yang dikandung oleh suatu dalil diganti oleh hukum yang lain harus ditetapkan secara syar’i—bukan sekadar karena adanya perbedaan pada dua dalil. Harus ada nash yang menerangkan baik secara tekstual ataupun dalâlah bahwa hukum sebelumnya telah di-naskh oleh hukum yang dikandung oleh nash berikutnya atau kedua nash tersebut tidak dapat dikompromikan satu sama lain.( Taqiyuddin an-Nabhani. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Beirut: Dar al-Ummah, 2005) III/284).
Dengan mencermati ketiga ayat di atas tampak bahwa masing-masing ayat tersebut tidak ada yang saling menegasikan sehingga salah satunya harus di-naskh sebagaimana yang dijelasakan di atas. Oleh karena itu, menggunakan konsep nâsikh-mansûkh untuk membedah ayat-ayat tersebut tidak pada tempatnya. Memang di antara ulama ada yang menganggap terdapat nâsikh-mansûkh pada kedua ayat itu. Namun, jika diteliti, kesimpulannya sama: keharaman menikah dengan kaum musyrik dan kebolehan bagi pria Muslim menikahi wanita Ahlul Kitab.

c. Perbedaan penafsiran.
Dalih lain lainnya terdapat dalam buku ‘Fiqih Lintas Agama’, bahwa ada keragaman di dalam menafsirkan teks-teks ayat-ayat yang dianggap melarang pernikahan beda agama. Menurut buku ini, dengan merujuk pendapat Rasyid Ridha dalam Al-Manâr, sebenarnya cakupan Ahlul Kitab tidak terbatas hanya Yahudi dan Nasrani. Jika seseorang sudah percaya pada salah satu nabi maka bisa dikategorikan Ahlul Kitab. Jadi pengertian dan cakupan Ahlul Kitab semakin meluas seiring dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, tidak ada larangan menikah dengan penganut agama lain seperti Hindu, Budha, dll selama mereka mempunyai kitab suci. Untuk mendukung pendapat tersebut penulis juga mencomot nama Abu Hanifah dan Abu A’la al-Maududi—tanpa menyertakan sumbernya—yang dianggap sejalan dengan pendapat tersebut. (Nurcholis Madjid, at.al., Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina, 2004), hlm. 42-54 dan 153-165.
                Argumentasi tersebut tidak dapat diterima karena istilah ahlul kitab adalah istilah syar’i yang memiliki batasan spesifik. Dengan demikian, istilah itu tidak dapat ditafsirkan semaunya tanpa ada pijakan yang kukuh. Ahlul Kitab dalam berbagai kitab-kitab tafsir yang mu’tabar hanya diartikan sebagai Yahudi dan Nasrani saja. Sejumlah nash telah menafsirkan frasa ahlul kitab sebagai Yahudi dan Nasrani di antaranya QS Ali Imran [3]:65; al-Maidah [5]:68; al-An’am [6]: 156.
Pandangan Rasyid Ridha yang dijadikan pijakan penulis juga tidak dapat diterima. Al-Baghdadi—sebagaimana yang dikutip Rasyid Ridha—memang menyatakan bahwa Majusi dan sejumlah firqah lainnya mengklaim memiliki nabi yang menerima wahyu dari Allah SWT. Namun demikian, al-Baghdadi tidak menyatakan bahwa mereka termasuk Ahlul Kitab. ( Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu bayna al-Firâq, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, tt.), hlm. 223.)
Adapun klaim bahwa Imam Ali mengganggap Majusi sebagai Ahlul Kitab maka hal tersebut telah dibantah oleh Imam as-Sarkhasi. Beliau juga menjelaskan posisi Abu Hanifah dalam masalah ini yang kontradiktif dengan apa yang diklaim oleh orang-orang Liberal.( Lebih lanjut lihat: Syamsuddin As-Sarkhasi, Al-Mabsûth, al-Maktabah asy-Syamilah. IV/385; al-Kâsani, Badâi’u ash-Shanâi’, II/271, al-Maktabah asy-Syamilah).
Bahkan dalam Marâtib al-Ijmâ’, Ibnu Hazm menyatakan bahwa umat telah bersepakat bahwa selain Yahudi dan Nasrani dari ahlu al-harb dinamakan sebagai orang-orang musyik. Mereka juga bersepakat tentang penamaan Yahudi dan Nasrani sebagai orang-orang kafir, kendati mereka berbeda pendapat dalam menamakan keduanya sebagai orang-orang musyrik.(Ibnu Hazm al-Andalusi, Marâtib al-Ijmâ’. Al-Maktabah asy-Syamilah)

Ikhtitam
                Jelas, bahwa pernikahan beda agama yang dilakukan oleh wanita tersebut adalah perbuatan Haram, nikahnya batal bila kemudian melakukan hubungan suami isteri, maka hal itu adalah zina. Dan Islam telah jelas menghukum para pelaku zina, yakni rajam bagi yang telah bersuami-isteri dan derah seratus kali bagi yang lajang. Adapun berpindahnya dari seorang muslimah menjadi seorang Katolik, maka Islam telah menghukuminya dengan hukum murtad yakni hukum bunuh, menurut Imam Syfai’i dia diminta taubat tiga kali, jika menolak akan dilakukan eksekusi.
                Wahai kaum muslimin persoalannya telas jelas, bahwa hukum sekulerisme telah nyata-nyata tidak menjaga aqidah kaum muslimin. Oleh karena itu umat Islam harus sadar bahwa hanya Islamlah yang mampu melindungi dan menjaga kehormatan, dan aqidah Umat Islam, tentu jika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu’alam bishawab.